twitter


Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkah laku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk menggabungkan diri dalam kelompok teman sebaya. Kelompok sosial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menurut Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkah laku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi overacting dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak. Pada masa ini, juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran, atau keinginan orang lain. Peer group, pembentukan kelompok, membuat kelompok-kelompok yang sama dengan karakteristik dirinya, ingin menonjolkan kelompok mereka, merupakan masa perkembangan di usia-usia ini. Keinginan untuk bisa sama dengan yang lain, untuk bisa diterima oleh suatu kelompok cukup tinggi. Maka, tidak heran jika terkadang seseorang akan bersedia melakukan apapun, selama ia bisa diterima oleh kelompok tersebut. Karena rasa ingin diakui cukup tinggi pada masa-masa ini. Karena bagi sebagian orang, mereka yang akan dikucilkan oleh kelompok merupakan hal yang dapat menyebabkan stress, frustasi, dan rasa sedih (Santrock, 2001).
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hormonal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap perubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Dalam menghadapi ketidanyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang mereaksinya secara defensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya. Reaksi yang diberikan biasanya seperti:
(1) Agresif: melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang mengganggu
(2) Melarikan diri dari kenyataan: melamun, pendiam, senang menyendiri, dan meminum minuman keras atau obat-obatan terlarang. (Santrock, 2002).

Remaja dan masyarakat
Hubungan seseorang dengan masyarakatnya menjadi semaki penting pada masa remaja. Khususnya dalam proses emansipasi perlu ada tinjauan bagaimana hubungan remaja dengan masyarakatnya. Dalam mendidik remaja perlu diarahkan kepada hal-hal yang baik untuk menjaga keselarasan anatar individu dan masyarakat, menjadi apa yang baik untuk menjaga kelestarian ”social order”. Hal ini sering menimbulkan bahan konflik karena remaja mempunyai ideal dan cita-cita sendiri yang tidak ditemukan dalam masyarakat. Remaja mengalami pertentangan antara apa yang diidam-idamkan dengan kenyataan yang ada. Pertentangan antara remaja dan masyarakat ini menurut Mollenhauer ada 6 macam:
1. Pertentangan anatara integrasi dan partisipasi kritis
Agar sistem di masyarakat dapat berfungsi dengan baik, maka semua warganya perlu memikul tanggung jawab bersama dan para remaja perlu dipersiapkan untuk hal tersebut. Namun sebaliknya banyak ditemukan hambatan dan rintangan bagi remaja untuk bisa ikut berpartisipasi secara kritis dalam berbagai institusi seperti keluarga, sekolah, serta kehidupan usaha. Sebagian besar remaja telah mengambil sikap komformistis sehingga lebih menyesuaikan diri dengan pola masyarakat daripada dengan cita-cita sendiri.
2. Pertentangan antara kesempatan dan usaha ke arah peningkatan status sosial
Setiap orang (warga masyarakat) memiliki kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita yang sangat disetujui oleh masyarakat namun banyak ditemukan gejala bahwa seseorang sulit meningkatkan status sosial bila ia sempat masuk suatu kelompok sosial, yaitu misalnya di Indonesia, anak yang berasal dari ekonomi rendah dapat meraih cita-citanya dan menjadi seorang sukses karena anak itu berusaha dan mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi dan akhirnya dapat menempatkan dirinya dalam status sosial yang lebih baik.
3. Pertentangan antara sugesti mengenai kehidupan yang serba enak dengan kenyataan yang ada: masih tergantung orang tua
Proses perkembangan seseorang yang ideal adalah mencapai aktualisasi diri atau perwujudan diri. Anak muda masih diliputi cita-cita akan kehidupan yang lebih bebas, mandiri lepas dari ikatan rumah dan lingkungannya. Kenyataannya adalah remaja masih terikat akan sejarah hidupnya, masih juga meniti jalan yang sudah ditentukan baginya oleh pendidikan dan lingkungannya. Remaja memasuki kehidupan bertanggung jawab dan waktu luangnya diisi oleh usaha menambah penghasilan hidup yang biasanya menuntut penyesuaian dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
4. Pertentangan antara perhatian mengenai faktor ekonomi dan pembentukan kepribadian
Dalam keseluruhan pendidikan makin nampak bahwa kebutuhan ekonomi makin menguasai pembentukan kepribadian anak. Tetapi di samping itu nampak pula bahwa pendidikan sering kali bertujuan untuk membuat anak politis dewasa dan mencapai emansipasi yang kurang ada hubungannya dengan keadaan orde ekonomi yang ada. Timbulah aksi-aksi unjuk rasa menentang orde tersebut serta menentang lembaga-lembaga yang lebih mementingkan kebutuhan ekonomi. Remaja dan kaum muda pada umumnya menjadi unsur pokok pada aksi unjuk rasa tersebut.
5. Pertentangan antara fungsi politis dalam pembentukan kepribadian dengan sifat sebenarnya yang tidak politis
Pembentukan kepribadian berarti perkembangan sifat-sifat kemanusiaan lepas daripada pekerjaan yang dimiliki seseorang. Dalam makna semula hal itu juga berarti keikutsertaan orang dalam kejadian yang ada di lingkungan masyarakatnya. Remaja menuntut agar sekolah memberikan pelajaran yang lebih menyeluruh yang bisa memungkinkan terjadinya emansipasi. Remaja menginginkan agar sekolah bisa ikut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, dan tidak hanya mempersiapkan remaja untuk hidup bermasyarakat nantinya.
6. Pertentangan antara tuntutan rasionalitas dengan kenyataan yang irrasional
Remaja sering diberi pengertian bahwa sikap yang rasional sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang sudah maju. Tetapi kenyataan yang ada sangat bertentangan. Rasionalisasi berarti bahwa semua yang terjadi harus bisa dikontrol, dilaksanakan secara terbuka. Meskipun begitu, proses demokratis yang ada dalam masyarakat yang telah maju tidak bisa terlaksana dengan baik dengan dalih tidak ada penilai-penilai yang cukup mampu atau demi efisiensi pengambilan keputusan (Selectic; Wolters, 1974).
Remaja dan pekerjaan
Geinzberg (1951) telah membuat penataan dalam data mengenai proses pemilihan pekerjaan. Ia membedakan adanya 3 periode :
1. Periode fantasi sebelum umur 11 tahun
Di sini anak banyak mengadakan identifikasi dengan orang dewasa. Misalnya, anak kecil yang ingin menjadi guru mengungkapkan sifat dan wataknya yang kelak ikut menentukan pekerjaannya.
2. Periode tentatif
Di sini ada konfrontasi antara berbagai macam perhatian, penilaian kecakapan sendiri dan pendapat akan nilai-nilai dari pihak orang lain. Misalnya, seorang anak begitu tertarik untuk menjadi guru karena ia ingin membuat orang lain pandai.
3. Periode realistis mulai kurang lebih 17 tahun
Di sini terjadi suatu pilihan yang definitif, timbul karena kompromi antara pendekatan subjektif, yang timbul pada periode tentatif, dengan kemungkinan-kemungkinan praktisnya. Misalnya, seorang anak yang tidak diterima di jurusan pendidikan guru, akhirnya ia mengalihkan pilihannya pada jurusan yang lebih sesuai dengan kemampuannya.
Geinzberg (1951) menganggap berakhirnya perkembangan seseorang ditandai dengan selesainya tahap perkembangan pemilihan pekerjaan.
Super (1957) menganggap proses pemilihan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan konsep diri. Proses pemilihan pekerjaan dalam arti proses-proses yang menentukan karier, mengikuti proses kelima masa kehidupan, yaitu masa pertumbuhan (sampai kurang lebih 14 tahun), masa peninjauan (14-24 tahun), masa penentuan diri (24-44 tahun), masa pertahanan (45-64 tahun), dan masa peralihan (mulai 65 tahun). Hal tersebut banyak ditentukan oleh faktor sosial ekonomi dan sosial kultur.
Wiegersma (1963), pemilihan yang pasti ditentukan oleh sejumlah faktor esensial dan faktor kebetulan. Faktor esensial dibedakan antara faktor yang memberikan batas dan yang memberikan arah. Faktor yang memberikan batas menentukan batas kemampuan seseorang atas dasar potensi psikis dan fisik dan juga atas dasar pembentukan dan bantuan yang datang dari lingkungan. Faktor yang memberikan arah dan dorongan datang dari sejumlah faktor personal, sosiologis, sosial ekonomis dan sifat watak seseorang. Pengaruh faktor kebetulan kebanyakan adalah kejadian insidental dalam hidup seseorang yang dapat menentukan batas kemungkinan seseorang memperoleh pekerjaan ataupun memberikan arahnya. Kekompleksan keseluruhan faktor-faktor ini menyebabkan anak muda membutuhkan nasehat dan bimbingan dalam memilih suatu pekerjaan. Hal ini terutama dibutuhkan dalam proses tentatif, tetapi juga pada permulaan periode realistis, dan bahkan juga pada permulaan melakukan pekerjaan.
Bagi remaja dari lingkungan kelas menengah proses pemilihan pekerjaan dapat merupakan satu bagian proses emansipasi, sedangkan bagi remaja dari lingkungan sosial ekonomi yang lebih rendah pemilihan ini kurang mempunyai peranan tersebut. Kemungkinan praktis bagi remaja dari golongan sosial ekonomi yang lebih rendah begitu terbatas, hingga kurang tepat untuk bicara mengenai pilihan pekerjaan. Mereka sudah senang bila dapat memperoleh kerja. Pada kalangan sosial ekonomi kuat ada banyak pilihan pekerjaan meskipun kadang-kadang harus berusaha juga atau memperoleh pekerjaan yang lebih rendah kualitasnya. Hal ini sebaliknya mempengaruhi situasi kerja pada golongan sosial ekonomi rendah, dalam arti tidak menguntungkan. Remaja yang tidak menamatkan sekolah juga sulit mendapatkan pekerjaan, hingga pengangguran bertambah.
Minat remaja terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh minat mereka pada pekerjaan yang diharapkan kelak. Beberapa faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan adalah: sikap teman sebaya: berorientasi pada sekolah atau kerja, sikap orang tua terhadap pendidikan anaknya, nilai-nilai yang menunjukkan keberhasilan atau kegagalan akademis, relevansi dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru, karyawan, kebijakan akademis dan disiplin, keberhasilan dalam berbagai kegiatan ektra-kurikuler, dan derajat dukungan sosial diantara teman-teman sekelas.
Seorang remaja pada dasarnya memiliki potensi yang sangat berguna bagi pengembangan dirinya atau bagi orang lain. Sebagai contoh:
1. Kondisi fisik yang berada dalam keadaan prima memungkinkan ia untuk menjadi olahragawan yang baik atau untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.
2. Karena remaja sudah dapat berpikir sistematis dan kritis terhadap hal-hal yang abstrak dan hipotetis, maka ia sudah dapat diajak untuk melihat masalah-masalah yang ada, ikut memberikan saran, pemikiran dan sebagainya.
3. Perasaan emosional yang kuat dari seorang remaja dapat diarahkan untuk hal-hal yang bersifat positif seperti melakukan aktivitas sosial, keagamaan dan sebagainya.
4. Kecenderungan remaja untuk hidup dalam kelompok juga dapat diarahkan untuk hal-hal yang bersifat positif seperti misalnya kelompok belajar, kelompok minat, dan sebagainya.
5. Perkembangan moral pada masa remaja berguna bagi pengembangan kata hati yang berguna bagi tingkah laku moral mereka selanjutnya.
6. Karena masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri, maka masa ini merupakan masa yang sangat menentukan bagi perkembangan hidup seseorang. Masa depan seseorang, baik studi, pekerjaan, keluarga, cita-cita dan sebagainya juga dapat dipersiapkan pada masa ini.

Menurut jurnal yang ditulis oleh Musdalifah, M.Si. yang berjudul Perkembangan sosial remaja dalam kemandirian (Studi Kasus Hambatan Psikologis Dependensi terhadap Orangtua) ditulis bahwa remaja ingin mencapai adanya jaminan dan kebebasan ekonomi. Tujuan dari tugas ini adalah adanya kemampuan untuk dapat hidup sendiri atas kemampuan dan tenaga sendiri. Tugas ini pertama-tama sangat penting bagi anak laki-laki dalam mempersiapkan diri sebagai kepala rumah keluarga dan pencari nafkah. Kemampuan ini tumbuh menjadi besar dan dapat menentukan dirinya sendiri, merupakan keinginan dan dorongan yang kuat pada diri remaja. Salah satu ciri sebagai orang dewasa yang dianggap baik dan memadai adalah orang dewasa yang mempunyai penghasilan yang layak. Masalah remaja (adolescent) merupakan periode untuk memperluas dan mempercepat adanya suasana ketegangan antara keinginan dan ketidakyakinan akan dapat menjadi “Seorang Dewasa”. Serta memilih dan mempersiapkan diri untuk sesuatu jabatan atau pekerjaan. Tugas ini dimaksudkan untuk dapat memilih dan menyiapkan suatu jabatan yang sesuai dengan kemampuan remaja. Pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan akan memudahkan seseorang mencapai kebahagian dalam hidup.


Remaja dan permasalahannya

Dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Aulia Iskandarsyah yang berjudul Remaja dan pemasalahannya(Perspektif psikologi terhadap permasalahan remaja dalam bidang pendidikan)yang berisi bahwa masa remaja adalah :

1. Masa remaja adalah usia bermasalah
Pada periode ini membawa masalah yang sulit untuk ditangani baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan oleh dua lasan yaitu : pertama, pada saat anak-anak paling tidak sebagian masalah diselesaikan oleh orang tua atau guru, sedangkan sekarang individu dituntut untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Kedua, karena mereka dituntut untuk mandiri maka seringkali menolak untuk dibantu oleh orang tua atau guru, sehingga menimbulkan kegagalan-kegagalan dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

2. Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri
Pada periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi remaja. Mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara dan berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya. Salah satu cara remaja untuk meyakinkan dirinya yaitu dengan menggunakan simbol status, seperti mobil, pakaian dan benda-benda lainnya yang dapat dilihat oleh orang lain.

3. Masa remaja adalah usia yang ditakutkan
Masa remaja ini seringkali ditakuti oleh individu itu sendiri dan lingkungan. Gambaran-gambaran negatif yang ada dibenak masyarakat mengenai perilaku remaja mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan remaja. Hal ini membuat para remaja itu sendiri merasa takut untuk menjalankan perannya dan enggan meminta bantuan orang tua atau pun guru untuk memecahkan masalahnya
Orang tua seringkali mengkhawatirkan anak remajanya bergaul dengan orang yang salah, tetapi sebenarnya instruksi yang diberikan oleh orang tua mempengaruhi pilihan kelompok teman sebaya dan teman-temannya. Anak muda cenderung kepada anak muda lain yang tumbuh besar seperti mereka, yang selevel dalam prestasi sekolahnya, dalam penyesuaian, dan dalam kecenderungan sosial dan anti sosialnya (Collin et al., 2000; B.B. Brown, Mounts, Lamborn, & Steinberg, 1993). Anak-anak dengan masalah perilaku umumnya berprestasi buruk di sekolah dan tidak betah bersama teman sekelasnya yang berperilaku sopan. Anak-anak yang tidak populer dan berprestasi rendah saling tertarik satu dengan yang lain dan saling menguatkan perilaku yang salah. Hal ini juga disebut dengan kenakalan remaja.
Kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah) hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Anak-anak ”bermasalah” ini terus-menerus mendapatkan pengasuhan yang tidak efektif, yang seringkali mengarah kepada perilaku nakal pada masa remaja dan berteman dengan teman sebaya yang berperilaku menyimpang. Remaja anti sosial cenderung memiliki konflik dengan orang tua, yang biasanya disebabkan oleh faktor genetik (Neiderhiser, Reiss, Hetherington, & Plomin, 1999).
Pencegahan dan penanganan:
Upaya-upaya ini meliputi bentuk-bentuk psikoterapi individual dan kelompok, terapi keluarga, modifikasi perilaku, rekreasi, pelatihan kejuruan, sekolah-sekolah alternatif, perkemahan dan berperahu di alam terbuka, penahanan dan pembebasan bersyarat, program kakak asuh, organisasi komunitas, dan memperdalam ajaran agama. Berikut ini cara-cara yang mungkin diterapkan untuk pencegahan dan penanganan kenakalan remaja (Dryfoss, 1990):
1. Program harus lebih luas cakupannya daripada hanya sekadar berfokus pada kenakalan. Misalnya, pada dasarnya mustahil meningkatkan pencegahan kenakalan tanpa mempertimbangkan kualitas pendidikan yang ada bagi anak-anak muda yang beresiko tinggi.
2. Program harus memiliki komponen-komponen ganda, karena tidak ada satupun komponen yang berdiri sendiri sebagai ”peluru ajaib” yang dapat memerangi kenakalan.
3. Program-program harus sudah dimulai sejak awal masa perkembangan anak untuk mencegah masalah belajar dan masalah perilaku.
4. Sekolah memainkan peran penting. Sekolah yang memilki kepemimpinan yang kuat, kebijakan disiplin yang adil, partisipasi murid dalam pengambilan keputusan, dan investasi besar terhadap hasil-hasil sekolah oleh murid-murid dan staf memiliki peluang yang lebih baik dalam menekan kenakalan.
5. Upaya-upaya harus diarahkan pada perubahan institusional daripada pada perubahan individual. Yang menjadi titik berat adalah meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung.
6. Walaupun butir 5 benar adanya, namun para peneliti menemukan bahwa memberi perhatian kepada masing-masing individu secara intensif dan merancang program secara unik bagi tiap anak merupakan faktor yang penting dalam menangani anak-anak yang beresiko tinggi untuk menjadi nakal.
7. Manfaat yang didapatkan dari suatu program seringkali hilang saat program tersebut dihentikan. Oleh karenanya, perlu dikembangkan program yang sifatnya berkesinambungan


Pencitraan/ imagery adalah representasi mental mengenai hal-hal yang tidak bisa langsung diserap oleh organ-organ indra (Behrmann, Kosslyn & Jeannerod, 1996; Thomas, 2033). Kita sering memiliki imaji-imaji tentang objek, kejadian, dan setting. Pencitraan mental juga bisa merepresentasikan hal-hal yang tidak pernah diamati oleh indra-indra manusia kapan pun. Pencitraan mental bahkan bisa merepresentasikan hal-hal yang tidak hadir sama sekali selain hanya pikiran seseorang yang menciptakan imaji serta dapat melibatkan representasi mental dalam modalitas serapan apa pun seperti pendengaran, penciuman, atau cita rasa. Dasar-dasar pertimbangan teoretis dari pencitraan mental itu sendiri ada dua tema sentral, yaitu yang pertama teori dua kode (Paivio, 1969, 1971), menyatakan bahwa pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk imaji dan simbol. Yang kedua, teori proposisi (Anderson & Bower, 1973), menyatakan kalau pengetahuan direpresentasikan dalam bentuk proporsi, bukannya dalam bentuk imaji-imaji atau kata-kata atau simbol-simbol lain.


Representation of Knowledge (gambaran pengetahuan) adalah cara bagaimana informasi disimbolkan dan digabungkan dengan hal – hal yang disimpan di otak. Dalam bahasa yang lebih umum yaitu suatu bentuk bagi apa yang anda ketahui di dalam pikiran tentang hal – hal, ide – ide, kejadian – kejadian dan sebagainya yang terdapat di luar pikiran. Bagian dari kognisi ini memiliki dua aspek : gambaran pengetahuan konseptual dipikiran dan cara bagaimana otak menyimpan dan memproses informasi. Bagian ini membahas tentang gambaran pengetahuan yang merupakan bagian konsep terpenting dari psikologi kognitif. Dengan pengetahuan kita bias menyimpan, mengintegrasikan, dan mengorganisasikan informasi dalam memori. Pengetahuan adalah informasi yang terorganisir dan terstruktur dan kita akan memfokuskan pada informasi semantik. Dengan mempelajari bagaimana kata – kata muncul dalam memori, dapat dipelajari mengenai komponen gambaran pengetahuan : isi, struktur, dan proses yang menyertai.
Representasi pengetahuan terdiri atas beberapa cara di mana pikiran kita menciptakan dan memodifikasi struktur – struktur mental yang menyerukan apa yang kita ketahui tentang dunia di luar pikiran kita. Representasi pengetahuan melibatkan entah bentuk – bentuk pengetahuan deklaratif (apanya sesuatu) dan non deklaratif (bagaimana sesuatu). Melalui pencitraan mental, kita menciptakan struktur – struktur mental analog yang menyerukan hal – hal yang tidak diserap saat ini di dalam organ–organ indera. Pencitraan bisa melibatkan salah satu indera–indera ini. Namun bentuk pencitraan yang paling umum dilaporkan oleh orang kebanyakan dan yang paling umum dipelajari para psikolog kognitif adalah pencitraan visual. Beberapa studi (seperti studi tentang partisipan buta dan beberapa studi tentang otak) menunujukkan kalau pencitraan visual itu sendiri mungkin mengandung dua sistem representasi mental yang berbeda.
Salah satu sistemnya melibatkan atribut–atribut visual non spasial seperti warna dan bentuk. Sistem yang lain melibatkan atribut–atribut spasial seperti lokasi, orientasi, dan ukuran atau penskalaan jarak. Menurut hipotesis dua kode Paivio, dimiliki dua kode mental yang berbeda bagi representasian pengetahuan. Kode pertama adalah bagi imaji–imaji dan kode yang lain bagi kata–kata dan simbol–simbol lain. Imaji–imaji direpresentasikan dalam bentuk yang analog dengan bentuk yang kita serasp lewat indera. Sebaliknya, kata–kata dan konsep dikodekan dalam bentuk simbolis, yang bukan analog sifatnya. Pandangan alternatif tentang representasi imaji adalah hipotesis proposisi. Hipotesis ini menyatakan bahwa baik imaji maupun kata–kata direpresentasikan dalam bentuk proposisi. Proposisi mempertahankan makna dasar imaji maupun kata, terlepas dari ciri–ciri persepsi keduanya. Contoh, ciri–ciri akustik kata–kata tidak disimpan begitu pula ciri–ciri visual warna atau bentuk–bentuk suatu imaji. Kode–kode proposisilah, jadi bukan kode–kode imaji, yang paling mempengaruhi representasi mental ketika partisipan diperlihatkan gambar–gambar ambigu atau abstrak. Tampaknya, kecuali konteks memudahkan performa, penggunaan imaji–imaji visual tidak selalu mengarah kepada performa yang berhasil di sejumlah tugas yang memerlukan manipulasi–manipulasi gambar abstrak atau ambigu.


Dalam teori-teori yang lain-lain dapat dipergunakan rangka pembicaraan struktur, dinamika dan perkembangan kepribadian. Namun rangka ini tidak dapat dipakai untuk membicarakan teori Allport, karena bagi Allport struktur kepribadian itu terutama dinyatakan dalam sifat-sifat (traits) dan tingkah laku didorong oleh sifat-sifat (traits). Jadi struktur dan dinamika itu pada umumnya satu dan sama. Sifat adalah penekanan teori Allport sehingga sering disebut dengan traits psychology. Definisi allport tentang kepribadian adalah organisasi dinamik dalam individu sebagai sistem-sistem psikofisis yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungannya.
Organisasi dinamik menekankan bahwa kepribadian selalu berkembang dan berubah. Psikofisis menunjukkan bahwa kepribadian bukan hanya mental dan neural, namun jiwa dan raga menjadi suatu kesatuan pribadi. Kepribadian individu dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing dari istilah menentukan. Yang dimaksudkan dengan khas atau unik adalah Allport memberi penekanan pada individualitas, bahwa tidak ada 2 orang yang benar-benar sama dalam hal kepribadian. Kepribadian itu memiliki arti sebagai adaptasi atau penyesuaian diri dengan lingkungan.
Sifat (Trait)
Sifat adalah sistem neuropsikis yang digeneralisasikan. Sifat memiliki eksistensi dalam diri individu. Sifat dibedakan dengan habits. Kebiasaan merupakan kecenderungan-kecenderungan bersifat menentukan. Sifat merupakan sifat gabungan dari beberapa kebiasaan. Menurut allport, sifat dan sikap adalah predisposisi untuk merespon dan khas, dapat membimbing tingkah laku, merupakan hasil belajar dan faktor genetis. Sikap, berhubungan dengan suatu objek sehingga lebih luas. Makin besar objek dikenai sifat, maka sifat dan sikap akan menjadi semakin mirip. Sikap biasanya mengandung penilaian terhadap suatu objek. Sifat-sifat merupakan predisposisi-predisposisi umum bagi tingkah laku. Maka dari itu untuk membedakan semua sifat yang pada pokoknya mempunyai taraf keumuman yang sama, Allpor mengklasifikasikan sifat menjadi 3 yaitu sifat pokok, sifat sentral, dan sifat sekunder.
1. Sifat pokok atau cardinal trait
Sangat menonjol sehingga pengaruhnya dapat ditemukan pada semua kegiatan individu yang mempunyai sifat pokok. Jenis sifat ini kurang biasa. Sehingga kurang nampak pada setiap orang. Sifat pokok nampak pada setiap orang tetapi tidak setiap orang mempunyai sifat tersebut. Contoh : seseorang yang mempunyai karakter suka bekerja terlalu keras tanpa mengenal lelah sehingga ia akan mudah terkena stress.
2. Sifat sentral atau central trait
Sifat ini lebih khas dan kecenderungan yang sangat khas dari individu yang sering berfungsi / muncul dan mudah ditandai. Contoh : gampang bergaul dalam berbagai lingkungan tempat kita berdiam diri ataupun hanya sekedar singgah.
3. Sifat sekunder atau secondary trait
Jarang muncul dan berfungsinya pun lebih terbatas, maka kurang bermanfaat untuk mendeskripsikan kepribadian seseorang. Dan lebih banyak berpusat pada respon yang muncul. Contoh : perilaku orang yang terkena darah tinggi, saat kambuh ada yang marah dan juga ada yang hanya diam saja.
Selain 3 sifat di atas yang dikemukakan oleh Allport, masih ada sifat-sifat lain; yaitu sifat-sifat ekspresif. Sifat-sifat ekspresif ini merupakan disposisi yang memberi warna atau mempengaruhi bentuk tingkah laku, tetapi yang pada kebanyakan orang tidak mempunyai sifat mendorong. Contoh sifat-sifat ekspresif ini adalah melagak, ulet, dan sebagainya. Adapun tujuan yang dikejar orang sifat-sifat ini dapat bekerja, dapat memberi warna kepada tingkah lakunya.

Proprium
Istilah proprium dapat didefinisikan dengan memikirkan bentuk sifat “propriate” seperti dalam kata “appropriate”. Proprium menunjukkan sesuatu yang dimilki seseorang atau unik bagi seseorang. Itu berarti bahwa proprium (self) terdiri dari hal-hal atau proses-proses yang penting dan bersifat pribadi bagi seorang individu, segi-segi yang menentukan seseorang sebagai diri yang unik. Allport menyebutnya “saya sebagaimana dirasakan dan diketahui”. Intilah inilah yang kemudian membedakan konsep Allport dengan konsep-konsep lainnya. Munculnya proprium merupakan satu persyaratan untuk suatu kepribadian yang sehat.


Gangguan Ortopedik
Keterbatasan gerak atau kurang mampu mengontrol gerak dikarenakan adanya masalah di otot, tulang, atau sendi. Hal tersebut disebabkan oleh problem prenatal (dalam kandungan) atau perinatal (menjelang atau sesudah kelahiran), atau karena penyakit atau kecelakaan saat anak-anak.
1. Cerebral Palsy
Gangguan yang berupa lemahnya koordinasi otot, tubuh sangat lemah, dan goyah (shaking), atau bicaranya tidak jelas. Penyebab umumnya adalah kekurangan oksigen saat kelahiran. Secara umum Cerebral Palsy dikelompokkan dalam empat jenis yaitu:
• Spastik (tipe kaku-kaku) dialami saat penderita terlalu lemah atau terlalu kaku. Jenis ini adalah jenis yang paling sering muncul. Sekitar 65 persen penderita lumpuh otak masuk dalam tipe ini.
• Atetoid terjadi dimana penderita yang tidak bisa mengontrol gerak ototnya, biasanya mereka punya gerakan atau posisi tubuh yang aneh.
• Kombinasi adalah campuran spastic dan athetoid.
• Hipotonis terjadi pada anak-anak dengan otot-otot yang sangat lemah sehingga seluruh tubuh selalu terkulai. Biasanya berkembang menjadi spastic atau athetoid.
Gejala-gejala yang ditimbulkan anak Cerebral Palsy adalah gangguan pada perkembangan motoriknya dan gangguan pada kognisi. Gangguan perkembangan motorik antara lain si anak tidak mampu mempertahankan posisi tubuh tertentu dan anak sulit berdiri atau berjalan karena tonus otot lemah atau berlebih. Karakteristik gaya belajar anak Cerebral Palsy terpengaruh akan gangguan kognisi yang dialaminya. Gangguan kognisi tersebut antara lain:

• Tidak mampu memahami aturan yang ada di lingkungannya.
• Tidak memahami fungsi suatu benda.
• Tidak mampu menggunakan benda-benda atau mainan secara benar.
• Kesulitan dalam mengingat sesuatu hal atau kejadian.
• Tingkat kecerdasan tidak sesuai dengan anak seusianya.

Pada tipe yang kurang lazim, seperti ataxia, otot anak menjadi kaku pada satu waktu lalu kendur pada waktu yang lain sehingga gerakan anak menjadi aneh dan lucu. Dalam proses belajarnya, anak yang mengalami gangguan ini bisa dibantu oleh komputer, dimana anak bisa melakukan koordinasi untuk menggunakan keyboard agar bisa mengerjakan kegiatan tulis menulis di komputer. Selain itu banyak anak penderita Cerebral Palsy yang bicaranya tidak jelas. Synthesizer suara dan ucapan, papan komunikasi, serta peralatan talking notes dan page turners dapat meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak tersebut.

2. Gangguan kejang-kejang
Jenis yang paling banyak dijumpai adalah epilepsi, gangguan saraf yang biasanya ditandai dengan serangan terhadap sensori motor atau kejang-kejang. Epilepsi muncul dalam beberapa bentuk berbeda (Barr, 2000; Resag, 2002). Jenis epilepsi meliputi:
• absent seizures/ Peti Mal, anak mengalami kejang-kejang dalam durasi singkat (kurang dari 30 detik) tetapi bisa terjadi beberapa kali sampai seratus kali dalam sehari, dimana selama waktu serangan ini penderita merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch-like), biasanya di daerah kepala, terutama pengedipan mata.. Sering kali kemunculannya sangat singkat, atau kadang-kadang ditandai dengan gerakan tertentu seperti mengangkat alis.
• Tonic-clonic/ Grand Mal, anak akan kehilangan kesadarannya dan menjadi kaku, gemetar dan bertingkah aneh. Ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang berlebihan dari neuron di seluruh area otak di korteks, di bagian dalam serebrum dan bahkan di batang otak dan thalamus. Bila parah bisa berlangsung selama tiga sampai empat menit.
Anak yang mengalami epilepsi biasanya dirawat dengan obat anti kejang, yang biasanya efektif dalam mengurangi gejala tapi tidak menghilangkan penyakitnya. Jika sedang tidak kambuh, anak yang menderita gangguan ini akan berperilaku normal. Sesungguhnya 80% pasien epilepsi anak-anak mempunyai kemampuan intelektual yang normal dan dapat mengikuti sekolah biasa. Kasus-kasus dengan taraf kecerdasan rendah umumnya diderita oleh pasien epilepsi yang mempunyai cacat lain. Dengan begitu karakteristik belajar anak yang menderita gangguan ini sama seperti anak normal lainnya. Anak memiliki kemampuan intelek yang normal dan dapat bersekolah di sekolah biasa. Namun terkadang anak-anak tersebut mendapat serangan epilepsi mendadak yang dapat mengganggu kegiatan belajarnya dan dapat pula menunjukkan perubahan kecerdasan, tingkah laku yang abnormal, konsentrasi yang menurun atau kesulitan menerima mata pelajaran tertentu


1. Bandura
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking), Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku.Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal.Tingkah laku mengaktifkan kontingensi lingkungan
2. Rotter
Rotter menyebut karyanya sebagai teori kepribadian “pembelajaran-sosial” untuk menunjukkan kepercayaannya bahwa kita bisa mempelajari perilaku kita melalui pengalaman sosial kita. Teorinya didasarkan pada pendekatan eksperimental yang cermat dan terkontrol-baik terhadap psikologi yang merupakan karakteristik gerakan behavioris. Teori kepribadian Rotter berasal dari laboratorium dan bukan klinik. Menurut pandangan Rotter, kepribadian akan terus mengalami perubahan sebagai akibat dari penampakan pengalaman baru kita. Namun kepribadian juga memiliki tingkat stabilitas atau kontinuitas tinggi sebab ini dipengaruhi oleh pengalaman kita sebelumnya. Rotter mengambil apa yang ia sebut sebagai sebuah pendekatan historis terhadap kepribadian: untuk memahami perilaku seseorang, ada baiknya mempelajari masa lalunya.
3. Mischel
Mischel menunjukkan bahwa kajian studi setelah gagal untuk mendukung dasar asumsi tradisional teori kepribadian, bahwa perilaku individu yang berkaitan dengan suatu sifat (misalnya kesadaran, sosialisasi) adalah sangat konsisten di berbagai situasi. Sebaliknya, Mischel's analisis mengungkapkan bahwa perilaku individu, ketika dekat diperiksa, sangat bergantung pada isyarat situasional, bukan dinyatakan secara konsisten di seluruh berbagai situasi yang berbeda dalam makna.
Mischel membuat kasus bahwa bidang psikologi kepribadian sedang mencari konsistensi di tempat yang salah. Alih-alih memperlakukan situasi sebagai kebisingan atau "kesalahan pengukuran" dalam psikologi kepribadian, pekerjaan Mischel diusulkan bahwa dengan termasuk situasi seperti yang dirasakan oleh orang dan dengan menganalisis perilaku dalam konteks situasional, konsistensi yang menjadi ciri individu akan ditemukan . Dia berargumen bahwa perbedaan-perbedaan individual ini tidak akan konsisten dinyatakan dalam perilaku situasional lintas, tetapi sebaliknya, ia menyarankan bahwa konsistensi akan ditemukan di berbeda tapi pola stabil jika-maka, situasi-perilaku dalam konteks hubungan yang terbentuk, secara psikologis bermakna "kepribadian tanda tangan "(misalnya," ia melakukan A ketika X, tetapi B ketika Y ").

4. Lev Vygotsky (1896-1934)
Teori Vygotsky adalah salah satu dasar dari konstruktivisme. Ini menegaskan tiga tema besar:
Tema utama:
1.Interaksi sosial memainkan peran penting dalam proses perkembangan kognitif. Berbeda dengan pemahaman Jean Piaget perkembangan anak (di mana harus mendahului perkembangan belajar), pembelajaran sosial Vygotsky merasa pembangunan mendahului. Ia menyatakan: "Setiap fungsi dalam perkembangan budaya anak muncul dua kali: pertama, pada tingkat sosial, dan kemudian, pada tingkat individu; pertama, antara orang-orang (interpsychological) dan kemudian di dalam anak (intrapsychological)." (Vygotsky, 1978 ).
2.Semakin Knowledgeable Other (MKO). The MKO mengacu kepada siapa saja yang memiliki pemahaman yang lebih baik atau tingkat kemampuan yang lebih tinggi daripada pelajar, sehubungan dengan tugas tertentu, proses, atau konsep. Yang MKO biasanya dianggap sebagai menjadi seorang guru, pelatih, atau lebih dewasa, tetapi juga bisa MKO teman sebaya, orang yang lebih muda, atau bahkan komputer.
3.Yang Zona proksimal Development (ZPD). The ZPD adalah jarak antara siswa kemampuan untuk melakukan tugas di bawah bimbingan orang dewasa dan / atau dengan rekan kolaborasi dan kemampuan siswa memecahkan masalah secara mandiri. Menurut Vygotsky, pembelajaran terjadi di zona ini.
Vygotsky berfokus pada hubungan antara rakyat dan konteks sosiokultural di mana mereka bertindak dan berinteraksi dalam berbagi pengalaman (Crawford, 1996). Menurut Vygotsky, manusia menggunakan alat-alat yang berkembang dari budaya, seperti berbicara dan menulis, untuk menengahi lingkungan sosial mereka. Pada mulanya anak-anak mengembangkan alat-alat ini untuk melayani semata-mata sebagai fungsi sosial, cara-cara untuk berkomunikasi kebutuhan. Vygotsky percaya bahwa internalisasi alat ini menyebabkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi.


Mekanisme Pertahanan
Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemutarbalikkan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri melibatkan unsur penipuan diri.
Kategori mekanisme pertahanan :
Tingkat 1 Pertahanan Mekanisme
a.Denial : Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsur penipuan diri.
b. Distorsi : Sebuah usaha pembentukan kembali realitas eksternal untuk memenuhi kebutuhan internal
c. Delusional proyeksi

Tingkat 2 Pertahanan Mekanisme
Mekanisme ini sering hadir pada orang dewasa dan lebih umum hadir dalam remaja. Mekanisme ini mengurangi tekanan dan kecemasan yang dipicu oleh kenyataan tidak nyaman. Orang-orang yang menggunakan pertahananan ini secara berlebihan sering terlihat dalam depresi berat dan gangguan kepribadian. Ini termasuk :

a. Fantasi : dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustrasi. Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa kreasi lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya.
B .Projection : individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.
c. Somatization : Transformasi perasaan negatif terhadap orang lain ke dalam perasaan negatif terhadap diri sendiri, rasa sakit, penyakit, dan kecemasan.
d. Pasif agresi : Agresi terhadap orang lain yang dinyatakan secara tidak langsung atau secara pasif
e. idealisasi : Tanpa sadar memilih untuk melihat orang lain memiliki kualitas yang lebih positif daripada dia miliki.

Tingkat 3 Pertahanan Mekanisme
Mekanisme ini dianggap neurotik, tetapi cukup sering terjadi pada orang dewasa. Seperti pertahanan memiliki keuntungan jangka pendek dalam mengatasi, tetapi dapat menimbulkan masalah jangka panjang dalam hubungan, pekerjaan dan menikmati hidup bila digunakan sebagai salah satu gaya utama menghadapi dunia.
Ini termasuk:
a.Projection : individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.
b. disosiasi : Membagi dua sekelompok pikiran atau kegiatan dari bagian utama kesadaran .
c. intelektualisasi : Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalah secara obyektif.
d. Reaction formation : Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau supresi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan cara ini individu tersebut dapat menghindarkan diri dari kecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan. Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasih sayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan
e.Repression : Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustrasi, tekanan, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Mereka menekan perasaan dan memori yang tidak menyenangkan tersebut kea lam bawah sadar dan mencegah agar tidak keluar kea lam sadar
f. Regression : Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustrasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang berusia lebih muda. Ia memberikan respons seperti individu dengan usia yang lebih muda (anak kecil). Misalnya anak yang baru memperoleh adik,akan memperlihatkan respons mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknnya dianggap sebagai sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari dari keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan strategi regresi karena belum pernah belajar respons-respons yang lebih efektif terhadap problem tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian
g. Rasionalisasi : Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik, atau yang baik adalah yang buruk.

Tingkat 4 Pertahanan Mekanisme
Ini biasanya ditemukan di antara orang dewasa yang sehat secara emosional dan dianggap dewasa, meskipun banyak memiliki asal-usul mereka dalam tahap perkembangan dewasa. Mereka telah diadaptasikan selama bertahun-tahun dalam rangka untuk mengoptimalkan kesuksesan dalam hidup dan hubungan. Penggunaan pertahanan ini meningkatkan kesenangan dan perasaan kontrol. Pertahanan ini membantu kita mengintegrasikan emosi dan pikiran yang saling bertentangan, sementara masih tersisa efektif. Mereka yang menggunakan mekanisme ini biasanya dianggap saleh.
Mereka termasuk:
1.Altruisme: Konstruktif pelayanan kepada orang lain yang membawa kesenan gan dan kepuasan pribadi
2.Antisipasi: perencanaan untuk masa depan yang realistis ketidaknyamanan
3.Humor: ekspresi nyata ide-ide dan perasaan (terutama yang tidak menyenangkan untuk fokus pada atau terlalu mengerikan untuk dibicarakan) yang mem berikan kesenangan kepada orang lainIdentifikasi: modeling tak sadar diri seseorang pada orang lain karakter dan perilaku.
4.Introjeksi: Mengidentifikasi dengan beberapa ide atau objek begitu dalam sehing ga menjadi bagian dari orang itu.
5.Sublimasi: Transformasi emosi negatif atau naluri ke tindakan positif, per laku, atau emosi.
6.Penindasan: proses sadar mendorong pemikiran ke prasadar; keputusan sadar untuk menunda memperhatikan emosi atau kebutuhan untuk menghadapi realitas masa kini; sehingga memungkinkan untuk kemudian mengakses emosi tidak nyaman atau menyedihkan ketika menerima mereka.
7.Supresi : Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi tetapi mengingkarinya secara umum). Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat menitik beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi) tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi)


1. Allport
ia membedakan antara pendekatan idiografis,yang menekankan pada individu serta variabilitas atau keunikannya,dan pandangan nomotetik,yang menekankan pada kelompok dan meminimalkan perbedaan individual.Sifat dalam teori allport adalah struktur mental yang berperan dalam konstitensi perilaku individu.Dalam teori kepribadian allport,niat berperan dalam proses pertumbuhan berkelanjutan menuju kemenjadian . Niat memberikan keutuhan bagi ego yang menghasilkan perkembangan upaya pribadi,rasa individualitas,dan pencapaian pengetahuan diri .
2. Maslow
Pandangan maslow didasarkan kepada kerangka motivasional yang berisi suatu hirarki kebutuhan , dari tingkat biologis primitif hingga ke pengalaman kesejatian manusia.Proses pertumbuhan pribadi sepanjang rentang kehidupan melalui pemuasan kebutuhan progresif disebut sebagai 'aktualisasi diri ' oleh maslow.Hasil semestinya dari aktualisasi diri adalah kepribadian harmonis,talenta individu yang termanfaatkan sepenuhnya,kemampuan intelektual,dan kesadaran diri .
3. Roger
Pandangan-pandangan roger tentang kepribadian pada dasarnya bersifat fenomenologis dalam arti ia memfokuskan pada diri yang menjalani pengalaman. Individu dianggap eksis pada awalnya.sebagai bagian dari bidang fenomenal pengalaman,dan struktur konseptual diri harus dibedakan dari seluruh bidang tersebut melalui diperolehnya pengetahuan diri . Maka kemudian,diri berisi konsep-konsep terorganisasi dan konsisten yang didasarkan pada persepsi atas karakteristik 'saya' sebagai subye atau obyek dan persepsi atas hubungan ' saya ' dengan orang lain . Setelah struktur konseptual diri diketahui dan diterima,individu sepenuhnya bebas dari ketegangan dan kecemasan internal .


Menurut Hurlock (1981) remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek.
Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang.
Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja.
Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:
1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
2. Ketidakstabilan emosi.
3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
7. Senang bereksperimentasi.
8. Senang bereksplorasi.
9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.
Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian (Fagan, 2006). Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja. Berikut ini dirangkum beberapa permasalahan utama yang dialami oleh remaja.
Permasalahan Fisik dan Kesehatan
Permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja awal ketika mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan. Mereka juga sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola mereka. Permasalahan fisik ini sering mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Levine & Smolak (2002) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Dalam sebuah penelitian survey pun ditemukan hampir 80% remaja ini mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski & Gullone, 1998). Ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang berlebihan tentang penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptiv (& Shaw, 2003; Stice & Whitenton, 2002). Lebih lanjut, ketidakpuasan akan body image ini dapat sebagai pertanda awal munculnya gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia (Polivy & Herman, 1999; Thompson et al).
Dalam masalah kesehatan tidak banyak remaja yang mengalami sakit kronis. Problem yang banyak terjadi adalah kurang tidur, gangguan makan, maupun penggunaan obat-obatan terlarang. Beberapa kecelakaan, bahkan kematian pada remaja penyebab terbesar adalah karakteristik mereka yang suka bereksperimentasi dan berskplorasi.
Permasalahan Alkohol dan Obat-Obatan Terlarang
Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Walaupun usaha untuk menghentikan sudah digalakkan tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang. Ada kekhasan mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza yang kemungkinan alasan mereka menggunakan berbeda dengan alasan yang terjadi pada orang dewasa. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi.
• Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya kehangatan dari orang tua, supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.
• Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
• Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.
• Cinta dan Hubungan Heteroseksual
• Permasalahan Seksual
• Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua
• Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama
Lain halnya dengan pendapat Smith & Anderson (dalam Fagan,2006), menurutnya kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol dan narkoba (Rey, 2002). Tiga jenis pengaruh yang memungkinkan munculnya penggunaan alkohol dan narkoba pada remaja:
Salah satu akibat dari berfungsinya hormon gonadotrofik yang diproduksi oleh kelenjar hypothalamus adalah munculnya perasaan saling tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya “jatuh cinta”.
Santrock (2003) mengatakan bahwa cinta romatis menandai kehidupan percintaan para remaja dan juga merupakan hal yang penting bagi para siswa. Cinta romantis meliputi sekumpulan emosi yang saling bercampur seperti rasa takut, marah, hasrat seksual, kesenangan dan rasa cemburu. Tidak semua emosi ini positif. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Bercheid & Fei ditemukan bahwa cinta romantis merupakan salah satu penyebab seseorang mengalami depresi dibandingkan dengan permasalahan dengan teman.
Tipe cinta yang lain adalah cinta kasih sayang (affectionate love) atau yang sering disebut cinta kebersamaan yaitu saat muncul keinginan individu untuk memiliki individu lain secara dekat dan mendalam, dan memberikan kasih sayang untuk orang tersebut. Cinta kasih sayang ini lebih menandai masa percintaan orang dewasa daripada percintaan remaja.
Dengan telah matangnya organ-organ seksual pada remaja maka akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya “ketidaknormalan” yang dialaminya berkaitan dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi, dan sebagainya (Santrock, 2003, Hurlock, 1991).
Diantara perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja yang dapat mempengaruhi hubungan orang tua dengan remaja adalah : pubertas, penalaran logis yang berkembang, pemikiran idealis yang meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, teman sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergaulan menuju kebebasan.
Beberapa konflik yang biasa terjadi antara remaja dengan orang tua hanya berkisar masalah kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur. Konflik-konflik seperti ini jarang menimbulkan dilema utama dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang maupun kenakalan remaja.
Beberapa remaja juga mengeluhkan cara-cara orang tua memperlakukan mereka yang otoriter, atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan remaja.
Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak mereka terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda.
Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja karena lingkungan remaja sudah sangat luas. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa mengendalikan perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun guru dan segera menyadari serta memperbaiki diri ketika dia berbuat salah.
Dari beberapa bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik dan permasalahan yang menyertainya, semoga dapat menjadi wacana bagi orang tua untuk lebih memahami karakteristik anak remaja mereka dan perubahan perilaku mereka. Perilaku mereka kini tentunya berbeda dari masa kanak-kanak. Hal ini terkadang yang menjadi stressor tersendiri bagi orang tua. Oleh karenanya, butuh tenaga dan kesabaran ekstra untuk benar-benar mempersiapkan remaja kita kelak menghadapi masa dewasanya.


Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 [2] yang menjadi awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Teorinya didasarkan pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat sebelumnya.
Tahapan Perkembangan Moral
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)

Tingkat 2 (Konvensional)
3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
5. Orientasi kontrak sosial
6. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; ‘mereka bermaksud baik…
Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut – ‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant[). Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls[). Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model Kohlberg ini.

Dimensi moral

Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam. (Baca juga artikel: Perkembangan Moral)


Perkembangan moral

Moral merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini sehingga ia tidak melakukan hal hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Di sisi lain tiadanya moral seringkali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja.
Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri punya peran penting dalam pembentukan moral. W.G. Summer (1907), salah seorang sosiolog, berpendapat bahwa tingkah laku manusia yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi sanksi tersendiri buat pelanggar pelanggarnya.


selamat datang, aku dhindaaaa :D
blog ini dibuatin sama ninin. tengkyuu sayaaaang :)

dirumah lagi ada ncha, dlo, bunga, dyota sama ninin,
meramaikan rumahku yang lagi sepi.
hohoho.

sudah ah, gini aja duluuuu ;)
-dhinda