Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkah laku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk menggabungkan diri dalam kelompok teman sebaya. Kelompok sosial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menurut Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkah laku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi overacting dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak. Pada masa ini, juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran, atau keinginan orang lain. Peer group, pembentukan kelompok, membuat kelompok-kelompok yang sama dengan karakteristik dirinya, ingin menonjolkan kelompok mereka, merupakan masa perkembangan di usia-usia ini. Keinginan untuk bisa sama dengan yang lain, untuk bisa diterima oleh suatu kelompok cukup tinggi. Maka, tidak heran jika terkadang seseorang akan bersedia melakukan apapun, selama ia bisa diterima oleh kelompok tersebut. Karena rasa ingin diakui cukup tinggi pada masa-masa ini. Karena bagi sebagian orang, mereka yang akan dikucilkan oleh kelompok merupakan hal yang dapat menyebabkan stress, frustasi, dan rasa sedih (Santrock, 2001).
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hormonal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap perubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Dalam menghadapi ketidanyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang mereaksinya secara defensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya. Reaksi yang diberikan biasanya seperti:
(1) Agresif: melawan, keras kepala, bertengkar, berkelahi dan senang mengganggu
(2) Melarikan diri dari kenyataan: melamun, pendiam, senang menyendiri, dan meminum minuman keras atau obat-obatan terlarang. (Santrock, 2002).
Remaja dan masyarakat
Hubungan seseorang dengan masyarakatnya menjadi semaki penting pada masa remaja. Khususnya dalam proses emansipasi perlu ada tinjauan bagaimana hubungan remaja dengan masyarakatnya. Dalam mendidik remaja perlu diarahkan kepada hal-hal yang baik untuk menjaga keselarasan anatar individu dan masyarakat, menjadi apa yang baik untuk menjaga kelestarian ”social order”. Hal ini sering menimbulkan bahan konflik karena remaja mempunyai ideal dan cita-cita sendiri yang tidak ditemukan dalam masyarakat. Remaja mengalami pertentangan antara apa yang diidam-idamkan dengan kenyataan yang ada. Pertentangan antara remaja dan masyarakat ini menurut Mollenhauer ada 6 macam:
1. Pertentangan anatara integrasi dan partisipasi kritis
Agar sistem di masyarakat dapat berfungsi dengan baik, maka semua warganya perlu memikul tanggung jawab bersama dan para remaja perlu dipersiapkan untuk hal tersebut. Namun sebaliknya banyak ditemukan hambatan dan rintangan bagi remaja untuk bisa ikut berpartisipasi secara kritis dalam berbagai institusi seperti keluarga, sekolah, serta kehidupan usaha. Sebagian besar remaja telah mengambil sikap komformistis sehingga lebih menyesuaikan diri dengan pola masyarakat daripada dengan cita-cita sendiri.
2. Pertentangan antara kesempatan dan usaha ke arah peningkatan status sosial
Setiap orang (warga masyarakat) memiliki kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita yang sangat disetujui oleh masyarakat namun banyak ditemukan gejala bahwa seseorang sulit meningkatkan status sosial bila ia sempat masuk suatu kelompok sosial, yaitu misalnya di Indonesia, anak yang berasal dari ekonomi rendah dapat meraih cita-citanya dan menjadi seorang sukses karena anak itu berusaha dan mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi dan akhirnya dapat menempatkan dirinya dalam status sosial yang lebih baik.
3. Pertentangan antara sugesti mengenai kehidupan yang serba enak dengan kenyataan yang ada: masih tergantung orang tua
Proses perkembangan seseorang yang ideal adalah mencapai aktualisasi diri atau perwujudan diri. Anak muda masih diliputi cita-cita akan kehidupan yang lebih bebas, mandiri lepas dari ikatan rumah dan lingkungannya. Kenyataannya adalah remaja masih terikat akan sejarah hidupnya, masih juga meniti jalan yang sudah ditentukan baginya oleh pendidikan dan lingkungannya. Remaja memasuki kehidupan bertanggung jawab dan waktu luangnya diisi oleh usaha menambah penghasilan hidup yang biasanya menuntut penyesuaian dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
4. Pertentangan antara perhatian mengenai faktor ekonomi dan pembentukan kepribadian
Dalam keseluruhan pendidikan makin nampak bahwa kebutuhan ekonomi makin menguasai pembentukan kepribadian anak. Tetapi di samping itu nampak pula bahwa pendidikan sering kali bertujuan untuk membuat anak politis dewasa dan mencapai emansipasi yang kurang ada hubungannya dengan keadaan orde ekonomi yang ada. Timbulah aksi-aksi unjuk rasa menentang orde tersebut serta menentang lembaga-lembaga yang lebih mementingkan kebutuhan ekonomi. Remaja dan kaum muda pada umumnya menjadi unsur pokok pada aksi unjuk rasa tersebut.
5. Pertentangan antara fungsi politis dalam pembentukan kepribadian dengan sifat sebenarnya yang tidak politis
Pembentukan kepribadian berarti perkembangan sifat-sifat kemanusiaan lepas daripada pekerjaan yang dimiliki seseorang. Dalam makna semula hal itu juga berarti keikutsertaan orang dalam kejadian yang ada di lingkungan masyarakatnya. Remaja menuntut agar sekolah memberikan pelajaran yang lebih menyeluruh yang bisa memungkinkan terjadinya emansipasi. Remaja menginginkan agar sekolah bisa ikut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, dan tidak hanya mempersiapkan remaja untuk hidup bermasyarakat nantinya.
6. Pertentangan antara tuntutan rasionalitas dengan kenyataan yang irrasional
Remaja sering diberi pengertian bahwa sikap yang rasional sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang sudah maju. Tetapi kenyataan yang ada sangat bertentangan. Rasionalisasi berarti bahwa semua yang terjadi harus bisa dikontrol, dilaksanakan secara terbuka. Meskipun begitu, proses demokratis yang ada dalam masyarakat yang telah maju tidak bisa terlaksana dengan baik dengan dalih tidak ada penilai-penilai yang cukup mampu atau demi efisiensi pengambilan keputusan (Selectic; Wolters, 1974).
Remaja dan pekerjaan
Geinzberg (1951) telah membuat penataan dalam data mengenai proses pemilihan pekerjaan. Ia membedakan adanya 3 periode :
1. Periode fantasi sebelum umur 11 tahun
Di sini anak banyak mengadakan identifikasi dengan orang dewasa. Misalnya, anak kecil yang ingin menjadi guru mengungkapkan sifat dan wataknya yang kelak ikut menentukan pekerjaannya.
2. Periode tentatif
Di sini ada konfrontasi antara berbagai macam perhatian, penilaian kecakapan sendiri dan pendapat akan nilai-nilai dari pihak orang lain. Misalnya, seorang anak begitu tertarik untuk menjadi guru karena ia ingin membuat orang lain pandai.
3. Periode realistis mulai kurang lebih 17 tahun
Di sini terjadi suatu pilihan yang definitif, timbul karena kompromi antara pendekatan subjektif, yang timbul pada periode tentatif, dengan kemungkinan-kemungkinan praktisnya. Misalnya, seorang anak yang tidak diterima di jurusan pendidikan guru, akhirnya ia mengalihkan pilihannya pada jurusan yang lebih sesuai dengan kemampuannya.
Geinzberg (1951) menganggap berakhirnya perkembangan seseorang ditandai dengan selesainya tahap perkembangan pemilihan pekerjaan.
Super (1957) menganggap proses pemilihan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan konsep diri. Proses pemilihan pekerjaan dalam arti proses-proses yang menentukan karier, mengikuti proses kelima masa kehidupan, yaitu masa pertumbuhan (sampai kurang lebih 14 tahun), masa peninjauan (14-24 tahun), masa penentuan diri (24-44 tahun), masa pertahanan (45-64 tahun), dan masa peralihan (mulai 65 tahun). Hal tersebut banyak ditentukan oleh faktor sosial ekonomi dan sosial kultur.
Wiegersma (1963), pemilihan yang pasti ditentukan oleh sejumlah faktor esensial dan faktor kebetulan. Faktor esensial dibedakan antara faktor yang memberikan batas dan yang memberikan arah. Faktor yang memberikan batas menentukan batas kemampuan seseorang atas dasar potensi psikis dan fisik dan juga atas dasar pembentukan dan bantuan yang datang dari lingkungan. Faktor yang memberikan arah dan dorongan datang dari sejumlah faktor personal, sosiologis, sosial ekonomis dan sifat watak seseorang. Pengaruh faktor kebetulan kebanyakan adalah kejadian insidental dalam hidup seseorang yang dapat menentukan batas kemungkinan seseorang memperoleh pekerjaan ataupun memberikan arahnya. Kekompleksan keseluruhan faktor-faktor ini menyebabkan anak muda membutuhkan nasehat dan bimbingan dalam memilih suatu pekerjaan. Hal ini terutama dibutuhkan dalam proses tentatif, tetapi juga pada permulaan periode realistis, dan bahkan juga pada permulaan melakukan pekerjaan.
Bagi remaja dari lingkungan kelas menengah proses pemilihan pekerjaan dapat merupakan satu bagian proses emansipasi, sedangkan bagi remaja dari lingkungan sosial ekonomi yang lebih rendah pemilihan ini kurang mempunyai peranan tersebut. Kemungkinan praktis bagi remaja dari golongan sosial ekonomi yang lebih rendah begitu terbatas, hingga kurang tepat untuk bicara mengenai pilihan pekerjaan. Mereka sudah senang bila dapat memperoleh kerja. Pada kalangan sosial ekonomi kuat ada banyak pilihan pekerjaan meskipun kadang-kadang harus berusaha juga atau memperoleh pekerjaan yang lebih rendah kualitasnya. Hal ini sebaliknya mempengaruhi situasi kerja pada golongan sosial ekonomi rendah, dalam arti tidak menguntungkan. Remaja yang tidak menamatkan sekolah juga sulit mendapatkan pekerjaan, hingga pengangguran bertambah.
Minat remaja terhadap pendidikan sangat dipengaruhi oleh minat mereka pada pekerjaan yang diharapkan kelak. Beberapa faktor yang mempengaruhi sikap remaja terhadap pendidikan adalah: sikap teman sebaya: berorientasi pada sekolah atau kerja, sikap orang tua terhadap pendidikan anaknya, nilai-nilai yang menunjukkan keberhasilan atau kegagalan akademis, relevansi dari berbagai mata pelajaran, sikap terhadap guru, karyawan, kebijakan akademis dan disiplin, keberhasilan dalam berbagai kegiatan ektra-kurikuler, dan derajat dukungan sosial diantara teman-teman sekelas.
Seorang remaja pada dasarnya memiliki potensi yang sangat berguna bagi pengembangan dirinya atau bagi orang lain. Sebagai contoh:
1. Kondisi fisik yang berada dalam keadaan prima memungkinkan ia untuk menjadi olahragawan yang baik atau untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.
2. Karena remaja sudah dapat berpikir sistematis dan kritis terhadap hal-hal yang abstrak dan hipotetis, maka ia sudah dapat diajak untuk melihat masalah-masalah yang ada, ikut memberikan saran, pemikiran dan sebagainya.
3. Perasaan emosional yang kuat dari seorang remaja dapat diarahkan untuk hal-hal yang bersifat positif seperti melakukan aktivitas sosial, keagamaan dan sebagainya.
4. Kecenderungan remaja untuk hidup dalam kelompok juga dapat diarahkan untuk hal-hal yang bersifat positif seperti misalnya kelompok belajar, kelompok minat, dan sebagainya.
5. Perkembangan moral pada masa remaja berguna bagi pengembangan kata hati yang berguna bagi tingkah laku moral mereka selanjutnya.
6. Karena masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri, maka masa ini merupakan masa yang sangat menentukan bagi perkembangan hidup seseorang. Masa depan seseorang, baik studi, pekerjaan, keluarga, cita-cita dan sebagainya juga dapat dipersiapkan pada masa ini.
Menurut jurnal yang ditulis oleh Musdalifah, M.Si. yang berjudul Perkembangan sosial remaja dalam kemandirian (Studi Kasus Hambatan Psikologis Dependensi terhadap Orangtua) ditulis bahwa remaja ingin mencapai adanya jaminan dan kebebasan ekonomi. Tujuan dari tugas ini adalah adanya kemampuan untuk dapat hidup sendiri atas kemampuan dan tenaga sendiri. Tugas ini pertama-tama sangat penting bagi anak laki-laki dalam mempersiapkan diri sebagai kepala rumah keluarga dan pencari nafkah. Kemampuan ini tumbuh menjadi besar dan dapat menentukan dirinya sendiri, merupakan keinginan dan dorongan yang kuat pada diri remaja. Salah satu ciri sebagai orang dewasa yang dianggap baik dan memadai adalah orang dewasa yang mempunyai penghasilan yang layak. Masalah remaja (adolescent) merupakan periode untuk memperluas dan mempercepat adanya suasana ketegangan antara keinginan dan ketidakyakinan akan dapat menjadi “Seorang Dewasa”. Serta memilih dan mempersiapkan diri untuk sesuatu jabatan atau pekerjaan. Tugas ini dimaksudkan untuk dapat memilih dan menyiapkan suatu jabatan yang sesuai dengan kemampuan remaja. Pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan akan memudahkan seseorang mencapai kebahagian dalam hidup.
Remaja dan permasalahannya
Dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Aulia Iskandarsyah yang berjudul Remaja dan pemasalahannya(Perspektif psikologi terhadap permasalahan remaja dalam bidang pendidikan)yang berisi bahwa masa remaja adalah :
1. Masa remaja adalah usia bermasalah
Pada periode ini membawa masalah yang sulit untuk ditangani baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan oleh dua lasan yaitu : pertama, pada saat anak-anak paling tidak sebagian masalah diselesaikan oleh orang tua atau guru, sedangkan sekarang individu dituntut untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Kedua, karena mereka dituntut untuk mandiri maka seringkali menolak untuk dibantu oleh orang tua atau guru, sehingga menimbulkan kegagalan-kegagalan dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
2. Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri
Pada periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi remaja. Mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara dan berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya. Salah satu cara remaja untuk meyakinkan dirinya yaitu dengan menggunakan simbol status, seperti mobil, pakaian dan benda-benda lainnya yang dapat dilihat oleh orang lain.
3. Masa remaja adalah usia yang ditakutkan
Masa remaja ini seringkali ditakuti oleh individu itu sendiri dan lingkungan. Gambaran-gambaran negatif yang ada dibenak masyarakat mengenai perilaku remaja mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan remaja. Hal ini membuat para remaja itu sendiri merasa takut untuk menjalankan perannya dan enggan meminta bantuan orang tua atau pun guru untuk memecahkan masalahnya
Orang tua seringkali mengkhawatirkan anak remajanya bergaul dengan orang yang salah, tetapi sebenarnya instruksi yang diberikan oleh orang tua mempengaruhi pilihan kelompok teman sebaya dan teman-temannya. Anak muda cenderung kepada anak muda lain yang tumbuh besar seperti mereka, yang selevel dalam prestasi sekolahnya, dalam penyesuaian, dan dalam kecenderungan sosial dan anti sosialnya (Collin et al., 2000; B.B. Brown, Mounts, Lamborn, & Steinberg, 1993). Anak-anak dengan masalah perilaku umumnya berprestasi buruk di sekolah dan tidak betah bersama teman sekelasnya yang berperilaku sopan. Anak-anak yang tidak populer dan berprestasi rendah saling tertarik satu dengan yang lain dan saling menguatkan perilaku yang salah. Hal ini juga disebut dengan kenakalan remaja.
Kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan di sekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah) hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Anak-anak ”bermasalah” ini terus-menerus mendapatkan pengasuhan yang tidak efektif, yang seringkali mengarah kepada perilaku nakal pada masa remaja dan berteman dengan teman sebaya yang berperilaku menyimpang. Remaja anti sosial cenderung memiliki konflik dengan orang tua, yang biasanya disebabkan oleh faktor genetik (Neiderhiser, Reiss, Hetherington, & Plomin, 1999).
Pencegahan dan penanganan:
Upaya-upaya ini meliputi bentuk-bentuk psikoterapi individual dan kelompok, terapi keluarga, modifikasi perilaku, rekreasi, pelatihan kejuruan, sekolah-sekolah alternatif, perkemahan dan berperahu di alam terbuka, penahanan dan pembebasan bersyarat, program kakak asuh, organisasi komunitas, dan memperdalam ajaran agama. Berikut ini cara-cara yang mungkin diterapkan untuk pencegahan dan penanganan kenakalan remaja (Dryfoss, 1990):
1. Program harus lebih luas cakupannya daripada hanya sekadar berfokus pada kenakalan. Misalnya, pada dasarnya mustahil meningkatkan pencegahan kenakalan tanpa mempertimbangkan kualitas pendidikan yang ada bagi anak-anak muda yang beresiko tinggi.
2. Program harus memiliki komponen-komponen ganda, karena tidak ada satupun komponen yang berdiri sendiri sebagai ”peluru ajaib” yang dapat memerangi kenakalan.
3. Program-program harus sudah dimulai sejak awal masa perkembangan anak untuk mencegah masalah belajar dan masalah perilaku.
4. Sekolah memainkan peran penting. Sekolah yang memilki kepemimpinan yang kuat, kebijakan disiplin yang adil, partisipasi murid dalam pengambilan keputusan, dan investasi besar terhadap hasil-hasil sekolah oleh murid-murid dan staf memiliki peluang yang lebih baik dalam menekan kenakalan.
5. Upaya-upaya harus diarahkan pada perubahan institusional daripada pada perubahan individual. Yang menjadi titik berat adalah meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak-anak yang kurang beruntung.
6. Walaupun butir 5 benar adanya, namun para peneliti menemukan bahwa memberi perhatian kepada masing-masing individu secara intensif dan merancang program secara unik bagi tiap anak merupakan faktor yang penting dalam menangani anak-anak yang beresiko tinggi untuk menjadi nakal.
7. Manfaat yang didapatkan dari suatu program seringkali hilang saat program tersebut dihentikan. Oleh karenanya, perlu dikembangkan program yang sifatnya berkesinambungan